Anda tahu
siapa yang merancang lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Garuda
Pancasila? dialah Sultan Hamid II.
Jurnalis
BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa (10/6/2015), menyampaikan hasil
penelusurannya soal sosok Sultan Hamid II menurut berbagai sumber dan
sejahrawan tanah air.
Dikatakan,
nama Sultan Hamid II mungkin dilupakan karena dianggap terlibat upaya kudeta
Westerling 1950. Kini disebut-sebut ada upaya untuk membersihkan namanya.
Sejarah
seringkali milik para pemenang, dan di sisi lain pihak yang kalah acapkali
dilupakan.
Dalam
sejarah kontemporer Indonesia, sosok Sultan Hamid II -yang pernah menjabat
menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama.
Barangkali termasuk kategori yang kalah.
Jasanya
dalam merancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila, seperti
dilupakan begitu saja setelah dia diadili dan dihukum 10 tahun penjara terkait
rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.
“Dia dilupakan,
karena dituduh terlibat peristiwa Westerling, termasuk ingin membunuh Sultan
Hamengkubowo (Menteri Pertahanan saat itu),” kata sejarahwan Taufik Abdullah
kepada BBC, Selasa (2/6/2015).
Setelah
upaya kudeta kelompok Westerling digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan
Sultan Hamid “telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling
bertindak sebagai senjata militernya.”
Pada 22
Januari 1950, sekitar 800 orang pasukan KNIL pimpinan Westerling menduduki
sejumlah tempat penting di Bandung, setelah menghabisi 60 orang tentara RIS.
Mereka kemudian berhasil diusir dari Bandung.
Di Jakarta,
empat hari kemudian, pasukan Westerling hendak melanjutkan kudeta, tetapi
berhasil digagalkan karena lebih dulu bocor.
Disebutkan,
pasukannya berencana membunuh beberapa tokoh Republik, termasuk Menteri
Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Walaupun
Sultan Hamid II membantah terlibat dalam upaya kudeta Westerling, pengadilan MA
menyatakan dirinya bersalah. Kemudian dia dihukum penjara sepuluh tahun.
Dalam buku
Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952), George Mc Turnan Kahin, menulis
setelah upaya kudeta itu digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan Sultan
Hamid “telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak
sebagai senjata militernya.”
Walaupun
membantah terlibat dalam kasus itu, pengadilan menyatakan dirinya bersalah.
Kemudian dia dihukum penjara sepuluh tahun.
“Di situlah
namanya habis. Dia dianggap pengkhianat,” kata Taufik Abdullah.
Perancang
lambang negara
Sejarah
resmi Indonesia kemudian melupakannya. Ketika pria kelahiran 1913 ini meninggal
dunia lebih dari 35 tahun silam, jasadnya bahkan tidak dikubur di makam
pahlawan.
Sosok
penyokong konsep negara Federal ini seperti dihilangkan, walaupun dia adalah
perancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila.
Perjalanan
rancangan lambang Garuda Pancasila hingga kini, termasuk rancangan awal Sultan
Hamid II (kiri bawah).
“Sultan
Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda,” kata
peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin kepada BBC
Indonesia, Jumat (5/6/2015).
Sebagai
Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno
untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan
panitia yang diketuainya.
Belakangan,
konsep rancangan Sultan Hamid yang terpilih, menyisihkan rancangan Muhammad
Yamin.
Sebagai
Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno
untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan
panitia yang diketuainya.
“Meskipun
(burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas pita)
masih terbalik,” kata Rusdi Hoesin.
Namun fakta
ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang pencipta lambang negara itu
menjadi pesakitan.
Bukan
‘dalang’ kudeta Westerling
Setelah
reformasi bergulir, sejumlah intelektual muda Kota Pontianak, Kalimantan Barat
-tempat kelahiran Sultan Hamid II- menggugat yang mereka sebut sebagai
kebohongan sejarah.
[img][/img]
Sultan
Hamid II (kanan), Ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO)
ikut berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949.
Anshari
Dimyati, yang juga Ketua Yayasan Sultan Hamid II, melalui penelitian tesis
master di Universitas Indonesia, menyimpulkan Ketua Majelis permusyawaratan
negara-negara Federal (BFO) ini tidak bersalah dalam peristiwa Westerling awal
1950.
“Sultan
Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan membunuh tiga
dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi dilakukan dan penyerangan pun tidak terjadi.
Itu yang harus diluruskan,” kata Anshari Dimyati, Selasa (2/6/2015).
Hasil
temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda
itu bukan “dalang” peristiwa APRA di Bandung awal 1950.
“Dia bukan
orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas
Divisi Siliwangi di Bandung,” katanya.
Menurutnya,
peradilan tidak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid dalam kasus
itu.
“Dia
didakwa telah bersalah oleh opini dan statement media massa yang memberitakan
tentang kasus ini… peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh
faktor politik,” jelas Anshari.
Sketsa Asli
ketsa awal
rancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II.
“Dan saya
menemukan sketsa-sketsa dokumen (perancangan logo burung Garuda) yang diberikan
Sultan Hamid kepada Mas Agung,” ungkap Turiman kepada BBC Indonesia, Selasa
(2/6/2015).
Salah-satunya
adalah sketsa rancangan lambang negara karya Sultan Hamid dan Muhammad Yamin,
katanya.
Berdasarkan
hasil liputan aktivis pers mahasiswa Nur Iskandar dalam tabloid Mimbar Untan,
Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman kemudian berhasil menemukan naskah
asli rancangan lambang negara karya Sultan Hamid.
“Kami
menelusuri lagi ke keluarga Kadriyah, dan kebetulan didapatkan naskah aslinya,”
kata Turiman.
Korban
‘kampanye hitam’
Hasil
penelitian Anshari dan Turiman ini kemudian diterbitkan dalam buku ‘Sultan
Hamid II, sang perancang lambang negara’ pada pertengahan 2013 lalu.
“Buku ini
salah-satu langkah awal publikasi sehingga nama Sultan hamid II tidak perlu
harus ditutup atau samar-samar dalam parade sejarah Indonesia,” demikian prolog
buku tersebut.
Seorang
anggota pasukan eks KNIL pimpinan Westerling ketika berada di depan markas
Siliwangi, Bandung, 1950.
“Dia
bukanlah pengkhianat negara seperti black campaign pada masa kehidupannya,
namun pahlawan negara yang karya ciptanya menduduki peringkat tertinggi di
dalam struktur negara, yaitu lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila,”
tulis mereka.
Kampanye
terbuka, melalui pameran dan diskusi di berbagai forum, pun digelar oleh
masyarakat Kalimantan Barat untuk apa yang mereka sebut sebagai pelurusan
sejarah.
Lebih
lanjut Turiman mengharap agar negara mengakui jasa pria yang bernama asli
Syarif Hamid Alqadrie ini sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.
Diskriminasi
hukum
“Karena di
dalam UU hak cipta, nama perancang harus disebutkan namanya, sama seperti
perancang lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman,” kata Turiman.
Dalam UU
nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan, nama WR Supratman disebut dengan jelas, tetapi tidak ada nama
Sultan Hamid II, katanya.
Ada harapan
agar negara mengakui jasa Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara,
Garuda Pancasila.
“Di sinilah
ada diskriminasi hukum. Tidak satu pun pasal yang menyatakan bahwa lambang
negara adalah rancangan Sultan Hamid II,” ujar Turiman.
Bagaimanapun,
Sultan Hamid II hidup dalam masa-masa gelap revolusi Indonesia, ketika banyak
kelompok yang masih bersemangat membawa Indonesia ke arah yang sesuai
persepsinya masing-masing.
Sejarah
memang bukan matematika yang terukur jelas dan acapkali hanya dimiliki para
pemenang. Namun tak semestinya sejarah meniadakan jasa para pesakitan.(Heyder
Affan/BBC)
Sumber : berita24h
0 komentar:
Posting Komentar